Header Ads

Menyelamatkan Anak Dari Rumah


www.posliputan.com - Arena peperangan ideologi dan budaya itu bukan di luar sana, tapi di rumah. Keluarga sebagai benteng utama dan terakhir nilai kehidupan  banyak yang  telah rusak dan  hilang kekuatan. Secara tidak sadar, kita kini tengah dikalahkan, ditawan oleh ketakwarasan.

Bukan tak ada rumahnya, atau telah rusak fisiknya. Tapi tak ada nilai spiritual dan sosial di dalamnya. Produsen wacana dan pasar lah yang kini sebagai pengendali utama  pandangan kebudayaan, kesadaran dan ketakwarasan. Dengan  iklan dan segala bentuk kemudahan, didistribuskan oleh kekuatan media massa, utamanya media sosial, membuat setiap manusia menjadi korban peperangan imajiner para produsen wacana, ideologi dan kebudayaan. Bahkan bukan lagi di rumah, karena telepon pintar itu sekarang dipegang masing-masing, peperangan itu terjadi pada masing-masing orang.

Padahal rumah  merupakan tempat belajar, mengembangkan pendidikan dan kebudayaaan. Tempat untuk memastikan orang-orang yang ada di dalamnya tumbuh berkarakter dan visioner.

Saatnya  membangun kecerdasan dan ketahanan budaya dengan menyelamatkan rumah, memastikannya sebagai tempat proses pendidikan menjadi manusia seutuhnya. Rumah menjadi tempat belajar pertama, dimana perkembangan manusia sedari kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua dilalui. Faktor keturunan dan lingkungan itu semuanya bermula dari rumah.

Salisu Shehu dalam artikelnya berjudul Towards an Islamic Perspective of Developmental Psyhcology, menegaskan bahwa  faktor ketentuan Allah Swt dalam tumbuh kembangnya manusia itu menjadi faktor utama, selain kedua faktor itu.  Sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-A�laa ayat 1-3: �Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi. Yang Menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya). Dan yang memberikan kadar masing-masing dan memberi petunjuk.�

Nah, dengan kesadaran relijius seperti itu, rumah akan penuh dengan nilai spiritualitas, menjadi tempat dimana doa setiap saat dipanjatkan untuk memastikan tumbuhkembangnya si anak lebih baik. Bahkan sejak awal proses hubungan suami istri, doa berlindung dari godaan setan dan memohon kebaikan dipanjatkan. Selama proses mengandung, melahirkan dan seterusnya, penuh dengan doa, agar kebaikan disertakan.

Menginjak usia sekolah,  belajar kepada ustad di pesantren, guru di sekolah dan madrasah serta kawan sepermainan. Semakin dewasa, kelasnya tidak hanya di rumah, tapi tempat pekerjaan dan organisasi tempat berprofesi.  Rapor kelulusannya bernama kebahagiaan, menebar kemanfaatan dan mendapat tempat di hati semua insan.

Kelas Yang Ditinggalkan

Kelas di rumah itu kini mulai kosong, sepi ditinggalkan siswanya. Ayah dan  ibu sebagai guru sibuk dengan pekerjaan dan gadget-nya. Sementara sang siswa (anak), diasuh pembantu dan televisi sebagai guru  ideologis.  Kering dan kaku, tanpa proses pembelajaran kehidupan yang sarat nilai, apalagi evaluasi atas apa yang dialami dan dirasakan dalam keseharian.

Mari mengukuhkan tekad  untuk menjadi guru kehidupan. Serendah apapun pendidikan dan setinggi apapun pendidikan anak, orang tua tetaplah menjadi sosok penting dalam belajar. Mengabaikannya, lebih percaya kepada guru-guru spiritual, seperti apa yang terjadi di kalangan pesohor, menjadikan tersesat, tak jelas tujuan kehidupan. Kebalikannya, tidak terus belajar menjadi orang tua baik adalah kebodohan, karena tantangan kehidupan anak kita akan semakin berat. Bersiap menjadi orang tua baik tak cukup ingin, tapi harus disertai ilmu pengetahuan.

Sedari pagi, dimulai dengan bersuci, shalat, doa dipanjatkan dan bacaan Alquran dilantunkan. Riang gembira siap beraktivitas. Proses belajar tentang arti persiapan kehidupan. Jika fisik harus suci, jiwapun harus kembali disucikan.

Berangkat ke sekolah, kantor atau tempat mencari nafkah, dimulai dengan berdoa dengan menyebut nama Allah Swt dan berdoa agar diberi kekuatan, bertawakal, karena tidak ada kekuatan, selain kekuasaan-Nya. Bagi mereka yang hidup di perkotaan, macet menjadi makanan keseharian. Selama di perjalanan, latihan kesabaran, ketelitian dan ketenangan menjadi pelajaran.

Masuk  sekolah, madrasah, pesantren, kampus, pasar,  kantor dan tempat beraktivitas lainnya, diperoleh lagi mata kuliah kehidupan baru. Pun demikian, saat perjalanan kembali ke rumah, ada mata pelajaran lainnya.

Sampai di rumah, belajar di sekolah kehidupan kembali dilanjutkan. Dengan keluarga plus berinteraksi dengan tetangga dan  masyarakat sekitar. Bahkan menjelang kita tidurpun, Islam mengajarkan doa dan sikap kepasrahan, bahwa mati dan hidup sepenuhnya milik Tuhan.

Perencanaan pembelajarannya saat akan shalat subuh, evaluasinya saat menjelang tidur.Sungguh dua puluh empat jam  waktu yang sebentar. Dalam rangkaian waktu itu, ujiannya bernama kesenangan dan kesusahan. Bila sedang senang harus terjaga jangan sampai jatuh ke jumawa. Sebaliknya, bila sedang susah, jangan biarkan selalu berkeluh kesah.

Saat anak kecil, kita lah pembimbing dan teladannya. Saat anak mulai remaja, orang tua menjadi teman tempat menyampaikan curahan hati dan kegalauannya. Saat anak  dewasa, orang tua adalah teman diskusi dan musyawarah yang memberikan panduan, agar anak tak salah jalan dalam memutuskan.

Doronglah agar kejujuran sebagai keseharian. Agar tumbuh anak-anak yang riang gembira hidup dalam kejujuran. Boleh jadi hasil ujiannya masih kurang memuaskan. Jangan hukumi dengan kemarahan, tapi berikan dukungan, agar kembali bangkit dan lulus dengan hasil memuaskan.

Apabila penuh prestasi, berikan apresiasi, sembari diingatkan bahwa yang penting dalam prosesnya  tidak tercela. Jangan sungkan memberikan hadiah  sederhana agar keinginan berprestasi terus terjaga dan belajar tetap bergairah. Jadikan rumah sebagai tempat yang nyaman, komunikatif dan menyemangatkan. Bantu dikala belum meraih hasil otimal, tetap pelihara semangat dikala sedang di puncak prestasi. Hargai setiap tahapan dan biarkan riang gembira dalam kompetisi.

Jangan sampai, ujian nasional yang berlangsung tiap tahun di sekolah menjadi drama kolosal nasional kecurangan. Proses akreditasi sekolah  dan perguruan tinggi  tidak menjadi alat audit mutu, tapi pesta kemunafikan seolah-olah telah berlangsung proses pemenuhan standar nasional pendidikan dan standar nasional pendidikan tinggi.

Sistem yang buruk akan menghasilkan produk yang busuk. Menebarkan ke-mafsadatan, jauh dari kemanfaatan. Ingatlah, mereka yang jujur boleh jadi terkesan  kalah, padahal jauh di balik itu, mereka tengah belajar untuk hebat penuh berkah. Mungkin kesannya tersisih, tapi sejatinya tengah menapaki jalan menentramkan dan bersih. Mereka yang curang terkesan menang, padahal jiwanya penuh kepalsuan, gersang kerontang.

Pertahanan  akhir itu bernama rumah, keluarga. Maka kokohkanlah bentengnya dengan aqidah tauhid dan kecerdasan budaya. Jadikanlah  rumah sebagai sekolah  kehidupan, universitas kebaikan, melahirkan sarjana kemuliaan yang terus berlomba dalam kebaikan.  Wallaahu�alam [sph]

No comments

Powered by Blogger.